VOICE OVER BUKAN CUMA SEKEDAR ‘NGOMONG’

Lu bisa punya produk bagus. Visual bagus. Bahkan hook yang catchy.

Tapi kalau suara yang “ngomong” di video lu gak connect (akan kita bahas sebentar lagi apa itu ‘connect’)... Audiens bakal scroll lewat —

dan lu gak dapet apa-apa.

Coba gue tanya:

Kalau lu lagi bikin iklan buat brand lu,

lu mau kelihatan sebagai siapa?

Brand?

Pembeli?

Atau Expert?

Karena kenyataannya, cara lu bicara = cara audiens ngerasa. Kita harus sampaikan dengan jelas ‘siapa kita’ lewat cara kita bicara.

Supaya message dari iklannya tersampaikan dengan lebih clear.


Dan kadang... bukan soal produknya bagus atau nggak, tapi soal cara lu nyampeinnya.

Sekarang, kita akan bahas 3 cara ‘ngomong’ di video iklan, yang bisa ‘connect’ sama audiens dan ningkatin performa iklan lu.


1. Ngomong Sebagai Brand: Karakter dan Trust

Lu pernah liat brand yang tiap postingannya tuh kayak punya kepribadian?

Ada yang manis, ada yang playful, kadang juga yang kayak sahabat.

Nah, itu namanya brand persona.

Brand yang kuat biasanya punya “suara” yang khas.

Dan di video ads, suara itu harus kerasa dari detik pertama.


Contoh?

Kalau persona brand-nya ceria dan thoughtful,

maka tone video ads-nya harus ikut:

🎵 Musiknya upbeat

🗣️ Bahasanya positif

🎬 Editing-nya ringan tapi meaningful

“Kamu tuh bukan males, kamu cuma belum nemu alat yang bikin aktivitas kamu lebih ringan. Dan itu tugas kita.”


Case:

Asumsi lu jual wedding planner digital, lu pengen mengedepankan personality brand yang ‘care’.

Berarti lu buka dengan tone ceria dan warm, kasih problem real (misal: bingung atur waktu dan budget),

Calon bride and groom, gimana? Udah mulai pusing ya h-6 bulan? Coba sini kita list apa aja sih yang mesti kamu siapin… kita bisa bantu kok!’

Lu harus pertahanin feels like brand-nya beneran care, bukan sekadar jualan.


2. Ngomong Sebagai User: Cerita Real yang Jujur

Ini power-nya UGC — User Generated Content.

Alias: orang-orang beneran ngomongin produk lu dengan cara mereka sendiri.

Kenapa ini powerful?

Karena beda banget rasanya ketika:

👎 Brand bilang: “Produk kami terbukti bikin kulit lebih cerah.”

👍 Vs. User bilang: “Gue gak expect sih... tapi 3 hari pake ini, kulit gue bener-bener lebih halus.”

Lebih percaya mana?

Lu percaya yang ngalamin, bukan yang ngaku-ngaku.


Case:

Brand body lotion.

Iklannya dimulai dari cewek yang cerita struggle soal kulitnya.

Dia nyoba berbagai solusi — gak works.

Sampai akhirnya nyoba produk lu, dan dia ceritain sendiri perubahan yang dia rasain.

“Aku tuh bingung banget, kulit aku kering banget! Padahal udah pake rekomendasi skin care yang sampe jutaan gitu loh…

Pas kemarin udah mau nangis aja rasanya… Tapi aku scrolling ketemu sama lotion ini nih…

Jujur awalnya aku skeptis sih…'“

(Sisanya kebayang seperti apa kan?)

Real. Relate. Dan no hard sell.

Struktur storytelling-nya bisa:

Problem → False Hope → Produk Muncul → Feature → Testimoni → CTA

Dan hook-nya? Bisa se-simple:

“Awalnya gue kira ini cuma body lotion biasa…”


3. Ngomong Sebagai Expert: Edukasi = Trust Level Naik

Kadang, audiens lu tuh bukan cuma butuh solusi.

Mereka butuh diyakinkan: “Kenapa ini works?”

Apalagi kalo market-nya udah rame. Udah terlalu banyak janji manis.

Di sinilah masuk peran expert.

Bukan berarti harus dokter atau ilmuwan, tapi tone-nya harus logis, paham, dan bisa ngejelasin.

“Masalahnya bukan di kulit kamu. Tapi di kandungan produk yang kamu pake.

Kebanyakan body lotion itu cuma cover di permukaan, gak nyampe ke hidrasi dalam.

Nah, formula kami pakai humektan aktif yang bisa nembus lapisan epidermis. That’s why it works.”


Use Case:

Produk skincare, iklannya dibuka sama seorang expert (bisa dokter atau content creator dengan trust tinggi),

Jelasin kenapa masalah yang dialami itu umum banget,

dan kenapa produk ini bisa bantu — plus MEKANISMENYA dijelasin.

Hook-nya bisa:

“90% orang pake skincare yang salah... dan gak sadar kalau ini malah merusak kulit mereka dalam jangka panjang…'“


So... Kapan Harus Pake Yang Mana?

  • Ngomong sebagai BRAND → pas lu mau bangun karakter, tone, dan hubungan jangka panjang antara brand sama market.

  • Ngomong sebagai USER → pas lu mau trigger rasa “ini tuh gue banget”

  • Ngomong sebagai EXPERT → pas market-nya udah penuh, orang skeptis, dan butuh reason buat percaya.

Dan yes — lu bisa mix ketiganya.

Just be clear siapa yang lagi “ngomong” di setiap bagian iklan lu.


Penutup: Iklan = Cerita + Perspektif yang Tepat

Setiap video ads itu harus punya cerita.

Tapi cerita tanpa ‘suara dan cara ngomong’ yang tepat…

...ya cuma kayak narasi kosong.

Jadi sebelum bikin iklan berikutnya, coba tanya:

“Gue lagi ngomong sebagai siapa?”

“Tone ini udah nyampe belum ke target audiens gue?”

“Hook-nya cukup kuat buat bikin orang stay?”

Karena makin dalam orang ngerasa “gue ngerti ini”—

makin tinggi kemungkinan mereka percaya, dan akhirnya beli.

And that’s how you make ads that actually convert.

Previous
Previous

Iklan Lu Gak Nendang? Mungkin Karena Ngotot Masukin Semua Fitur Sekaligus.